Bencana-Bencana Baru Bagi Perempuan

Picture 046Gempa dahsyat yang mengguncang Jogja dan Klaten pada 27 Mei 2006, menyisakan kerusakan dan juga dampak yang luar biasa. Data pemerintah menunjuk bahwa di DI Jogjakarta saja, gempa ini menyebabkan 5.048 orang meninggal dunia, kurang lebih 206.504 rumah rusak total dan rusak berat, serta sekitar 193.731 rumah rusak ringan. Belum terhitung kerusakan pada sarana prasarana lingkungan, sekolah, kantor pemerintahan dan prasarana lainnya (Peraturan Gubernur DIY No. 23 Tahun 2006 tentang Petunjuk Operasional Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Gempa Bumi di Provinsi DI Jogjakara Tahun Anggaran 2006). Selain menghancurkan sarana dan prasarana yang ada, gempa bumi ini juga mengakibatkan dampak ekonomi, sosial dan juga psikologis bagi masyarakat.

Tetapi, apakah dampak ini dirasakan secara sama dan identik oleh kelompok gender yang berbeda? Adakah beban dan sekaligus dampak yang dirasakan karena gempa dirasakan sama oleh orang dewasa dan anak-anak, atau antara laki-laki dan perempuan? Bagaimana juga dampak gempa dirasakan oleh kalangan lansia dan juga diffabel, termasuk diffabel baru, yang meningkat jumlahnya sebagai akibat bencana? Lantas, bagaimana kebijakan negara merespons situasi ini? Pertanyaan ini membuka sebuah perdebatan tentang urgensi melihat dimensi gender dalam bencana, yang seringkali luput dari perhatian.

Tetapi sayangnya, luputnya perhatian terhadap dimensi ini, seringkali dijustifikasi oleh pendapat bahwa bencana –khususnya bencana alam- dan juga dampaknya, tak pandang jenis kelamin, ras, suku, agama, kelas, dll. Jadi, tidaklah tepat untuk mendudukkan keduanya sebagai tema sejajar yang bisa dibicarakan secara bersama. Bukankah laki-laki dan perempuan sama-sama terkena dan menanggung dampak dari tsunami, sebagaimana juga dengan gempa? Kira-kira, pandangan seperti inilah yang mendasari keengganan untuk melihat bencana dengan kacamata yang lebih jeli dan hati-hati. Keengganan kedua, sebagai turunan dari sikap dan cara pandang di atas, maka respons terhadap desakan perlunya analisis dan perspektif gender menjadi minor. Desakan ini bahkan dianggap hanya akan menambah urusan dan memperuwet situasi.

Kerentanan yang Berbeda
Dari sisi yang berbeda, respons yang berkebalikan melihat bahwa situasinya tidaklah sesederhana itu. Adakah risiko terhadap bencana, terkait erat dengan kelompok rentan dan juga pembagian peran yang ada di masyarakat? Salah satu ilustrasinya, karena peran reproduktif yang diemban, perempuan dan lansia misalnya, menjadi lebih berisiko untuk terkena dampak dan menjadi korban dalam bencana. Peran dan kerentanan ini pula yang membuat mereka menjadi tidak bisa segera menyelamatkan diri, begitu terjadi bencana.

Ada dua ilustrasi untuk ini. Di dusun Karangasem, Pundong, Bantul misalnya, dari jumlah korban meninggal sebanyak 9 orang, semuanya adalah lansia, dan mayoritas adalah lansia perempuan. Sementara di salah satu dusun di Sewon, Bantul, terdapat 3 korban, yang semuanya adalah perempuan. Dua orang meninggal karena terjebak di dapur ketika sedang memasak dan terlambat menyadari bahaya, sementara yang seorang meninggal karena masuk kembali ke dalam rumah untuk menyelamatkan anaknya. Anaknya sendiri berhasil menyelamatkan diri, tetapi tanggung-jawab dan beban reproduktif, termasuk menjaga dan memastikan keselamatan anak dan anggota keluarga, membuatnya mengambil langkah yang meningkatkan risiko terkena dampak dari bencana. Namun sayangnya, data korban gempa yang resmi diluncurkan hingga hari ini, bukan merupakan data terpilah sehingga tidak bisa mengkonfirmasi kecenderungan di atas dalam skala yang lebih luas. Data yang diluncurkan Satkorlak misalnya, tidak menyediakan data pilah berdasar jenis kelamin, atau berdasarkan umur.

Dua ilustrasi diatas juga mengantarkan kepada analisis kerentanan terhadap bencana dan dampaknya berdasar jenis kelamin. Isu-isu kunci dalam pemetaan kerentanan mencakup pembagian peran dalam rumah tangga dan masyarakat, ketersediaan dan konstruksi sarana dan prasarana, akses atas informasi dan pengambilan keputusan, hingga ke aspek perilaku yang dipengaruhi oleh konstruksi sosial (GWG-Oxfam, 2006).

Pembagian peran dan perilaku yang diilustrasikan dalam dua kasus di atas membuat perempuan memikul peran dan tanggung-jawab yang lebih besar dalam hal keselamatan terhadap anggota keluarga yang lain. Bahkan kadangkala, ini dilakukan dengan mengorbankan keselamatan dirinya sendiri.

Lantas, bagaimana kerentanan ini terbaca pada isu ketersediaan dan konstruksi sarana dan prasarana? Dapur, ruang yang secara sosial identik dengan ruang perempuan, biasanya mendapat perhatian paling akhir dan paling kecil dalam konstruksi rumah. Karena perhatiannya paling kecil, maka konstruksi yang sehat dan aman –termasuk akses cepat untuk penyelematan diri- juga menjadi dikesampingkan. Ketika gempa terjadi yang bertepatan dengan siklus kerja harian di ruang bernama dapur, mayoritas perempuan masih disibukkan dengan aktivitas di dapur seperti memasak dan menyiapkan sarapan pagi. Akses ke luar yang minim dan tingkat keamanan yang rendah, membuat kondisi ini berkorelasi dengan kenaikan kerentanan bagi perempuan.

Yang Terlewat di Masa Emergency
Perbedaan dampak dari bencana yang ditanggung kelompok gender yang berbeda juga nampak dalam penanganan bencana pada tahap emergency. Muncul banyak catatan dan keluhan dalam hal akses dan skema bantuan pada tahap ini. Pada suatu siang, kurang lebih seminggu setelah gempa, saya mendengar penuturan seorang saudara tentang distribusi bantuan di kampungnya, 1 kilometer sebelah timur candi Prambanan. Ia menceritakan, bahkan hingga saat itu, ada beberapa tetangganya yang belum mendapat bantuan apapun. Dan ironisnya, mayoritas dari mereka adalah para janda yang sudah berusia lanjut. Sebagian di antaranya, selama ini ‘menumpang’ hidup pada anak atau cucunya. Bilamana bantuan datang, ruwetnya distribusi bantuan tak memungkinkan mereka untuk ambil bagian didalamnya. Mengapa? Mekanisme distribusi bantuan melupakan bahwa mereka ini tak akan memenangkan ‘kompetisi rebutan bantuan’ dalam situasi kepanasan dan berjejalan. Mereka juga seringkali terposisikan sebagai pasrah dan nrimo ing pandum.

Ada juga penuturan beberapa perempuan lansia ini, tentang birokrasi bantuan yang meminggirkan mereka. Distribusi yang kebanyakan menggunakan unit KK atau kepala keluarga ini, jarang yang menghitung bahwa walaupun hidup sendirian, atau walaupun ia janda dan tak bersuami, mereka tetaplah satu entitas yang berhak untuk mendapatkan bantuan atas nama dirinya sendiri. Female headed households, atau perempuan kepala keluarga, mungkin tak terdengar populer dalam birokrasi bantuan. Beberapa alasan seperti, mereka bisa menumpang dalam jatah anak atau cucunya, atau kebiasaan bahwa mereka tak pernah dihitung dalam data dan program resmi pemerintah, mungkin akan sering didengar sebagai jawaban atas kondisi tersebut.

Persoalan gender dalam penanganan bencana juga segera nampak bilamana melihat ragam bantuan yang datang. Seorang teman di gender working group untuk respon bencana di Jogja dan Jateng menceritakan kondisi serupa di sebuah desa di Kecamatan Pathuk, Gunungkidul, pada minggu-minggu pertama pasca gempa. Di daerah ini, keluhan yang muncul dari para perempuan lansia adalah kebutuhan-kebutuhan yang sederhana, tetapi sangatlah penting. Mereka mengeluhkan ketiadaan balsem atau minyak angin, karena banyak di antaranya yang sakit karena tidur di tenda. Kebiasaan menggunakan minyak angin dan balsem ini tidak dipandang penting oleh pemberi bantuan, yang hanya memberikan obat-obat ringan dalam bentuk pil, sesuatu yang asing bagi para lansia ini. Juga keluhan ketiadaan bantuan dalam bentuk jarik -kain panjang serupa rok untuk para perempuan lansia- dan kutang tradisional yang tidak masuk dalam daftar, karena dianggap bisa digantikan dengan Bra.

Dalam pertemuan beberapa kelompok masyarakat di Dusun Karangsem, Pundong, Bantul misalnya, identifikasi persoalan menunjukkan tingginya kebutuhan akan pernak-pernik dapur, yang tak terlirik oleh bantuan-bantuan yang datang (IDEA, 2006 a). Ibu-ibu mengeluhkan tingginya kebutuhan akan bumbu dapur seperti garam, terasi, gula merah, bawang merah, bawang putih, sementara yang datang hanya mie instan dan air mineral. Ibu yang lain lagi mengatakan, bahwa biarpun ada 3 orang yang menjadi lumpuh dan patah kaki karena gempa, hingga minggu kedua pasca gempa, tak ada satupun sarana penunjang –kruk atau kursi roda- yang memungkinkan diffabel baru ini bisa beraktivitas seperti sebelumnya.

Beberapa problem kesehatan reproduksi karena buruknya sanitasi juga membuat beratnya dampak yang ditanggung oleh perempuan. Pada seminggu pasca gempa, penyakit keputihan banyak dikeluhkan. Beberapa daerah memiliki sarana sanitasi yang sangat minim. Di dusun yang sama, ibu-ibu mengeluhkan bahwa pada minggu pertama gempa, buruknya sarana sanitasi membuat para perempuan menahan diri untuk tidak buang air besar dan kecil. Sarana MCK darurat yang semi terbuka, membuat mereka was-was kalau pergi ke belakang. Takut diintip, dan serangkaian ketakutan akan terjadinya kasus-kasus kekerasan berbasis gender, membayangi para perempuan ini.

Serupa di Masa Rekonstruksi dan Rehabilitasi
Bagaimana kondisi dan situasi pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi? Bilamana situasi darurat yang membuat rendahnya tingkat kesiapan dan antisipasi terhadap bencana menjadi permakluman terhadap situasi di atas, problem seharusnya tidak lagi muncul dalam tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Tetapi, seperti apakah situasinya? Bagian berikut akan menguraikan beberapa catatan dan persoalan dalam masa rehabilitasi dan rekonstruksi untuk beberapa aspek penting, terutama untuk pembangunan kembali perumahan, kesehatan dan sumber-sumber penghidupan.

Catatan pertama adalah berkaitan dengan skema kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Dalam Pergub No. 23 tahun 2006 tentang Petunjuk Operasional Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Gempa Bumi di Provinsi DI Jogjakara Tahun Anggaran 2006, skema yang ada masih menyisakan sejumlah masalah. Akomodasi jargon-jargon seperti kearifan lokal dan prioritas bagi kelompok rentan pada level prinsip, ternyata tidak diikuti skema yang memadai pada tingkat strategi dasar program. Salah satunya, menyangkut rendahnya keterwakilan perempuan dalam kelembagaan lokal untuk implementasi pembangunan kembali perumahan yang dikenal sebagai kelompok masyarakat, atau populer disebut pokmas.

Dalam regulasi tersebut, proses musyawarah yang ada tidak menegaskan perlunya pelibatan perempuan dalam pembentukan dan bekerjanya pokmas. Akibatnya, pembagian peran secara sosial yang menegaskan ruang publik sebagai ruang laki-laki, membuat rendahnya representasi perempuan dalam pokmas. Di dusun Karangasem, Pundong, Bantul, dari 21 Pokmas, hanya satu pokmas di RT 01 yang pengurus intinya melibatkan perempuan. Di RT ini, ada Bu Karjiyah yang menjadi bendahara pokmas, tetapi di dua puluh pokmas yang lain, semua pengurusnya adalah laki-laki.

Akibatnya, perempuan hanya terlibat dalam kerja-kerja support yang tidak berkorelasi langsung dengan keputusan penting yang diambil dalam rekonstruksi rumah. Biasanya, mereka hanya tahu berapa jumlah snack dan makan siang yang harus mereka sediakan bilamana mekanismenya adalah gotong-royong, sementara informasi tentang skema besar rekonstruksi rumah sama sekali diluar jangkauan. Juga dalam hal design rumah, mereka sama sekali tidak terlibat. Karenanya, akomodasi dan pemihakan pada kebutuhan ruang yang aman bagi perempuan terutama di area servis seperti dapur, juga tidak menjadi perhatian.

Bagaimana dengan rekonstruksi pada aspek kesehatan? Dalam tahun 2006, beberapa kebijakan positif memang dikeluarkan sebagai respon terhadap bencana. Di Bantul, apresiasi positif perlu dibuat untuk kebijakan subsidi retribusi kesehatan oleh APBD Bantul sehingga sampai Desember 2006, warga bebas berobat ke Puskesmas secara gratis. Namun sayangnya, pada saat yang bersamaan, beberapa pos alokasi penting yang terkait dengan kesehatan ibu dan anak, justru harus dikurangi anggarannya dalam jumlah yang signifikan. Perubahan ini nampak dalam tabel berikut ini :

Sumber : Perubahan APBD Bantul 2006, diolah, sebagaimana dikutip dari IDEA,2006.

Dalam situasi pasca bencana, pengurangan beberapa pos penting dalam jumlah yang sangat signifikan bisa membuat akses dan juga tingkat kemanfaatan program bagi perempuan menjadi menurun. Sebagai contoh, anggaran untuk penunjang pelayanan kesehatan ibu hamil yang berkurang sangat tinggi, akan membuat pelayanan ibu hamil menjadi tidak bisa dilakukan dengan optimal. Dampak lanjutannya, kualitas kesehatan ibu hamil dan bayi bisa menjadi taruhannya.

Aspek penting lain dari rekonstruksi adalah menyangkut rekonstruksi sumber-sumber penghidupan dan ekonomi. Dalam dokumen Anggaran Rencana Aksi Pasca Gempa di Propinsi DIY, khususnya di bagian pemulihan ekonomi, alokasi anggaran masih terkonsentrasi untuk pemulihan industri pengolahan dan perdagangan besar, eceran dan rumah makan. Itupun dengan proporsi anggaran yang belum merata dan terbatas pada bidang industri kecil tertentu. Sedangkan untuk usaha supermikro dan mikro skala rumahtangga/ grassroot masih sangat terbatas (GWG, 2006). Padahal kenyataannya usaha supermikro dan mikro lebih besar peranannya dalam menopang ekonomi keluarga karena cakupannya yang lebih luas. Usaha ini juga menjadi wilayah yang didominasi perempuan karena mayoritas dikerjakan oleh perempuan. Ketika gempa, peranan usaha ini juga menjadi semakin penting dan menjadi tulang punggung keluarga karena kaum laki-laki terkonsentrasi pada pembangunan kembali rumah. Konsekuensinya, usaha supermikro dan mikro, sebetulnya sangatlah urgen untuk segera dipulihkan.

Skema dan Kapasitas

Karenanya pula, dengan situasi di atas, penanganan bencana haruslah menimbang perbedaan situasi dan kebutuhan oleh kelompok gender yang berbeda. Sama-sama merasakan gempa, tetapi kebutuhan sesama survivor (istilah lain yang lebih berdaya daripada istilah korban), tidaklah seragam.

Bacaan yang lebih cermat terhadap perbedaan kebutuhan dan juga pembagian peran yang ada di masyarakat, akan membuat skema dan jalur bantuan menjadi lebih tepat. Ketiadaan assessment secara tepat dan mekanisme untuk melibatkan survivor dalam design program bantuan, mungkin akan berakibat fasilitas yang “sama rata” untuk perempuan dan laki-laki, atau antara yang dewasa dan anak-anak. Ketiadaan bacaan yang tepat, akan membuat program bantuan melupakan bahwa peran perempuan mengakibatkan mereka juga harus membawa anak-anak dan orang-orang tua ke fasilitas sanitasi misalnya. Akibatnya, penentuan sarana sanitasi yang tidak menghitung pentingnya titik penentuan lokasi sanitasi yang terjangkau, akan membuat akses kelompok rentan ini menjadi terbatas.

Jadi, perspektif gender dalam penanganan pasca bencana diperlukan, untuk memungkinkan semua orang, apapun jenis kelamin dan latar belakangnya, bisa hidup dan terpenuhi haknya dalam penanganan bencana. Perspektif ini juga untuk mengantisipasi munculnya bencana-bencana baru, yang justru akan menambah beban dan dampak bencana yang dirasakan oleh perempuan, anak, lansia dan kelompok rentan yang lain. Dengan kata lain, spiritnya adalah to satisfy their basic right to life with dignity, alias menjamin hak siapapun untuk bisa hidup dengan bermartabat.(***)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *