Anggaran dan Politik Harian Perempuan

Oleh : Dati Fatimah*

Anggaran adalah urusan sehari-hari, karena bentuknya ada dalam kehidupan kita sehari-hari. Mandi pagi dengan sabun mandi, adalah bentuk sumbangsih warga kepada negara melalui mekanisme pajak tak langsung bernama pajak pertambahan nilai. Juga sikat gigi dengan pasta gigi dan banyak produk pabrik lain, yang menjadi penyumbang anggaran negara dalam pos yang sama. Anggaran juga menyangkut bagaimana menjamin anak-anak kita bisa bersekolah dalam biaya yang terjangkau dan juga aksesibel. Andaikan alokasi anggaran pendidikan memadai dan terkelola dengan baik, tak perlu pusing karena hak untuk mengenyam pendidikan juga bisa terjamin.

Anggaran juga menyangkut apa yang akan dilakukan kalau ada anggota keluarga yang sakit. Berobat ke dokter bisa lewat jalur privat, tetapi membeli obat berarti berkontribusi bagi negara untuk membayar pajak. Bila memakai jalur pelayanan yang dibuat pemerintah, relasinya menjadi lebih sederhana dan jelas, yang menjalin kuasa warga dengan negara lewat anggaran kesehatan. Atau, bayangkanlah, apa yang terjadi dengan keluarga miskin, andaikan mekanisme jaminan kesehatan tidak terdistribusi merata? Mahalnya harga obat karena minimnya anggaran negara untuk penyediaan obat murah, sebagaimana akses pada layanan kesehatan yang minim, akan menjadi ancaman yang serius untuk keberlangsungan kehidupan mereka.

Deretan penjelas akan menjadi makin panjang, tetapi cukuplah untuk mengatakan betapa dekatnya persoalan anggaran dengan kehidupan keseharian. Dari membuka mata di pagi hari hingga ketika malam datang dan memejamkan mata. Dari ketika hidup berawal –bayar biaya persalinan, mengurus akta kelahiran-, hingga ketika ajal menjemput –bukankah surat catatan kematian juga harus diurus dan juga dibayar?

Bagaimana dengan perempuan? Strategi bertahan hidup kaum perempuan dalam lapis ekonomi bawah dan terbawah, adalah rangkaian siasat-siasat terhadap anggaran di level praksis. Bagaimana menjelaskan perempuan mengelola anggaran rumah tangga untuk menghadapi harga sembako yang terus naik, biaya sekolah dan pungutan lain yang seabrek, adalah siasat perempuan terhadap kebijakan anggaran. Cukuplah jelas untuk memetakan, bahwa dampak dari rendahnya kebijakan anggaran bagi pemenuhan hak dasar akan menjadi sangat jelas di mata perempuan. Mengapa? Karena pembagian peran dalam rumah tangga yang dikonstruk secara sosial, yang menjadikan urusan keseharian untuk bertahan hidup -pangan, pendidikan dan kesehatan- sebagai wilayah perempuan, adalah terkait erat dengan kebijakan anggaran. Kemajuan dan promosi terhadap pemenuhan hak dasar melalui kebijakan anggaran, akan mengurangi beban perempuan. Sebaliknya, rendahnya keberpihakan anggaran untuk ini, dan diiringi dengan pemborosan anggaran di sisi yang lain, sebetulnya sangat dekat dengan pemiskinan perempuan.

Memang sedekat dan senyata itu relasinya. Tetapi masalahnya, selama puluhan tahun, anggaran terposisikan sebagai wilayah yang haram untuk diperbincangkan, apalagi didekati dan dipengaruhi oleh publik masyarakat. Selama puluhan tahun, wilayah kebijakan anggaran adalah wilayah eksklusive yang hanya bisa dimasuki dengan boarding pass berupa jabatan politik ataupun justifikasi modal. Pejabat dan pemilik kapital, adalah dua pihak untuk menyebut sebagai contoh, pihak yang menjadi penentu utama kebijakan anggaran selama puluhan tahun. Walaupun publik -terutama masyarakat dan perempuan miskin karena jumlahnya mayoritas- adalah penyumbang utama anggaran, mereka pulalah yang menjadi paling dinisbikan dalam kebijakan anggaran.

Beberapa Gagasan dan Kebijakan

Dalam situasi seperti ini, gagasan untuk mendorong pro poor budget dan juga gender responsive budgeting, adalah angin segar untuk mendorong proses demokrasi yang subtil, yang menyentuh kehidupan keseharian secara langsung. Karena, meminjam istilah yang dikenalkan oleh Giddens sebagai sub politics, maka politik bukan hanya urusan ganti rezim atau urusan pemilu, tetapi politik adalah urusan sehari-hari warganya tentang isu-isu yang terkait langsung dengan hidupnya. Makan, air bersih, sekolah dan lain-lain urusan perempuan, adalah bagian dari kontestasi dan ruang politik, yaitu politik harian anggaran. Di sinilah, gagasan ini menemukan ruangnya.

Beberapa perubahan memang nampak di depan kita, saat-saat sekarang ini. Beberapa menggembirakan, walaupun catatan-catatan serius harus dilihat sebagai bagian dari upaya mendorong perubahan yang lebih mendasar. Saat ini misalnya, isu transparansi dan keterbukaan anggaran, adalah isu yang berhembus kencang, di pusat maupun di daerah. Saat ini pula, maraknya gerakan advokasi anggaran responsive gender menjadi penanda meningkatnya kesadaran terhadap anggaran sebagai instrumen kunci pengentasan masalah kemiskinan dan ketimpangan gender.

Pada sisi kebijakan, akomodasi beberapa perubahan cara pandang dan tata kelola juga nampak. Regulasi secara jelas menyatakan bahwa dokumen anggaran adalah dokumen publik, sehingga sifatnya terbuka bagi siapapun, seperti disebut dalam UU No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Saat ini juga, kita mendapati bahwa anggaran menjadi bagian strategis dari perencanaan pembangunan, dengan menempatkannya sebagai bagian tak terpisahkan dari proses perencanaan dan penganggaran. Tentang pengarusutamaan gender dalam pembangunan, keluarnya Inpres No. 9 tahun 2000 tentang PUG adalah wajah lain dari kemajuan dalam promosi hak-hak perempuan.

Walau begitu, beberapa kebijakan yang lain juga menjadikan kehidupan perempuan menjadi makin berat. Privatisasi yang menjadi bagian paket pinjaman lembaga-lembaga kreditor, membuat banyak layanan dasar menjadi semakin tak terjangkau. Dalam hal ini, kebijakan bernada sama yang memposisikan negara sebagai katalisator, menjadikan tanggung-jawab pemenuhan hak dasar menjadi beralih ke tanggung jawab individu. Pengelolaan posyandu yang dilimpahkan ke masyarakat atas nama partisipasi, sebagaimana skema stimulan untuk memancing kontribusi warga yang ternyata jumlahnya jauh lebih besar dalam pembangunan infrastruktur dasar di beberapa kabupaten di DIY, adalah contohnya. Implikasinya, banyak orang miskin semakin merasa tercekik dan derajat kehidupannya semakin menurun. Dan karena relasinya yang asimetris, pemiskinan ini berlangsung lebih dalam dan juga lebih cepat pada perempuan miskin.

Beberapa kebijakan secara langsung memang menyentuh isu perempuan dan anggaran. Inpres No 9 tahun 2000 memang baru sampai pada cara pandang yang melihat anggaran sebagai dokumen finansial, dan bukannya dokumen politik. Dalam aturan ini, hanya menyebutkan bahwa pembiayaan sebagai konsekuensi PUG akan dibiayai dengan anggaran daerah. Aturan ini gagal melihat bahwa wahana bernama anggaran lebih rumit dan lebih pelik daripada sekedar persoalan administratif, karena anggaran adalah produk dari proses politik antar kelompok kepentingan. Bagaimana bila pada tataran perumusan program tak ada masalah untuk mengintegrasikan gender, tetapi giliran alokasi sumber daya, anggaran tidak mendukung? Tampaknya, beberapa situasi ini lewat dari pandangan ketika kebijakan ini dibuat.

Cara pandang yang berbeda muncul ketika Kepmendagri No. 29 tahun 2003 tentang PUG dalam Pembangunan Daerah muncul. Dalam aturan ini, memang menampakkan bahwa pengarusutamaan gender tidak hanya cukup terjadi di level perencanaan, karena juga harus sampai ke level penganggaran. Namun, kritisi atas aturan ini juga muncul karena berpotensi menimbulkan kekeliruan penafsiran terhadap substansinya. Atau, mungkin juga karena cara pandangnya memang keliru. Sebagaimana jamak diketahui, aturan ini memang mensyaratkan setiap daerah untuk mengalokasikan minimal 5% untuk anggaran PUG. Bisa jadi, pengalaman beberapa negara, dengan mensyaratkan kuota anggaran menjadi acuan di sini. Philiphina misalnya, memang mengalokasikan 5% anggaran untuk gender and development (GAD) budget policy. Yang dimaksud di sini, negara harus mengalokasikan minimal 5% dari total anggaran untuk membiayai pengembangan, implementasi, monitoring dan evaluasi dari perencanaan gender dan pembangunan (Lang, et.al, 2000). Secara nominal, prasyaratnya memang sama, tetapi secara substansi sebetulnya berbeda. Dalam kasus Philiphina, alokasi ini dipakai untuk menjamin berjalannya integrasi gender dalam perencanaan pembangunan. Tetapi pada kasus Indonesia, bagaimana kalau 5% anggaran sudah responsive gender, tetapi 95% yang lain justru bias gender? Bukankah ini tidak menyalahi Kepmen ini, walaupun jelas bertentangan dengan spirit mendorong pembangunan yang lebih adil gender? Kondisi semacam ini, dan sejalan dengan pengabaian kebutuhan dan hak perempuan dalam kebijakan anggaran sebagaimana diuraikan di bawah ini, akan menjadikan potret kehidupan keseharian kaum perempuan menjadi kian suram.

Proses Penganggaran : Wilayah Yang Tak Terjangkau.

Memang partisipasi menjadi satu kata yang saat ini sedemikian populer. Pada situasi dua dekade yang lalu, hanya kalangan masyarakat sipil sajalah yang gencar menggunakan terma ini sebagai alternatif terhadap pendekatan pembangunan yang otoritarian dan sentralistik. Tetapi saat ini, para pejabat dan aparatus pemerintahan pun fasih untuk mengatakan bahwa partisipasi adalah prasyarat penting untuk keberhasilan pembangunan.

Ini adalah isyarat yang bagus, yang menandakan pergeseran positif dalam cara pandang tentang relasi negara dan warganya. Dengan kata lain, terbangun pemahaman bahwa partisipasi mensyaratkan ada ruang dimana suara dari warga dipertemukan dengan suara dari negara. Walau begitu, konsepsi partisipasi yang terbangun tidaklah identik. Lihatlah bagaimana debat antara pejabat pemerintah di satu sisi, dan aktivis NGO –untuk menyebut sebagai contoh- tentang partisipatif tidaknya kebijakan anggaran kerap kita temui. Pejabat pemerintah bersikukuh bahwa prosesnya sudah partisipatif karena sudah dimulai dari Musrenbang hingga pembahasan dan pengesahan di lembaga perwakilan rakyat. Sementara di lain sisi, aktivis NGO biasanya menganggap bahwa ruang partisipasi yang ada tidak memadai karena yang terjadi hanya proses yang formalistik, dan juga ekslusive.

Referensi tentang penganggaran yang partisipatif juga tidak banyak kita jumpai. Ironi yang ada nampaknya lebih menarik untuk diperbincangkan selama beberapa tahun, seakan menjadi penyaluran suara yang puluhan tahun terpendam, sehingga elaborasi gagasan yang khas Indonesia nampaknya tidak cukup dalam dan juga tidak populer. Yang paling sering terjadi, adalah mencoba menjadikan potret keberhasilan penganggaran partisipatif di negara yang lain, sebagai imaji yang operasional untuk konteks Indonesia. Salah satu imaji tersebut adalah pengalaman penganggaran partisipatif di Porto Allegre, Brazil yang menjadi benchmark bagi kajian dan juga advokasi anggaran di banyak belahan dunia.

Memang terobosan di Porto Allegre sungguh luar biasa. Di sebut demikian karena eksperimentasi yang dibuatnya dalam proses perencanaan dan penganggaran tidak hanya menjadi inovasi yang genuine, karena juga operasional dan bertahan hingga sekarang ini. Ini terjadi setelah diadopsinya gagasan penganggaran partisipatif oleh partai pemenang pemilu di tingkat pemerintahan kabupaten, yaitu partai pekerja yang berhaluan kiri. Salah satu aktivitas inti dari konsep ini adalah berlangsungnya pertemuan antara pada tingkat komunitas yang bersifat informal dan lepas dari campur tangan negara. Pertemuan ini mengidentifikasi kebijakan yang akan diusulkan pada tataran municipal (kabupaten), dengan mendasarkan pada acuan tentang isu-isu yang akan dibahas yang dibuat oleh pemerintah setempat. Dari Porto Allegre, kita juga belajar akan pentingnya negara dan partai politik sebagai kunci dalam perubahan penganggaran yang radikal.

Tetapi, walaupun indah dipandang dan juga diyakini oleh banyak aktivis pembangunan, partisipasi bukanlah konsep yang mudah untuk diterapkan. Porto Allegre berhasil karena pengorganisasian warga berlangsung dalam proses yang kontinu dan sekaligus sebagai ajang pendidikan dan penyadaran politik warga. Namun, praktek yang terjadi juga bukannya tanpa catatan. Selain penuh kerepotan di awalnya, ketika sudah berjalan, ternyata hanya diikuti oleh kelas menengah. Lapisan masyarakat termiskin, dan juga orang kaya, ternyata tidak tertarik untuk mengikuti proses ini (Nylen, 2002, sebagaimana dikutip dalam Savirani, 2006).

Potret tentang formalistik dan elitnya proses penganggaran juga menjadi bacaan umum di Indonesia. Selain berhenti pada tataran jargon, praktek-praktek perencanaan pembangunan yang diklaim partisipatif, juga berhenti menjadi proses seremonial belaka. Dalam beberapa FGD ketika riset ini diselenggarakan, ibu-ibu mengeluhkan bahwa informasi tentang pertemuan tidak sampai ke mereka, selain juga forum Musrenbang hanya bersifat perwakilan unsur-unsur penting di tingkat desa. Dalam satu desa, dengan anggaran pelaksanaan Musrenbang yang juga terbatas, maka hanya PKK –yang di tingkat desa dianggap sebagai representasi perempuanlah- yang diundang dalam Musrenbang. Sebagaimana politik ibuisme yang masih berjalan, maka ketua tim Penggerak PKK desa otomatis adalah istri Pak Lurah (dengan asumsi mayoritas lurah adalah laki-laki). Dengan posisinya sebagai elit desa, tentu saja tidak bisa mengharapkan istri pak Lurah akan memperjuangkan suara perempuan di tingkat terbawah.

Dan potretnya akan makin ironis bila dirunut hingga Musrenbang di tingkat kecamatan, Musrenbang kabupaten, apalagi forum-forum pasca Musrenbang yang semakin tak terjangkau tetapi sekaligus menjadi penentu kebijakan anggaran. Sebagaimana nampak dalam bab-bab laporan per daerah dalam laporan penelitian ini, wilayah kunci penganggaran sebetulnya juga masih tereksklusi dari jangkauan publik. Ini juga konsisten dengan temuan sempitnya ruang dan sekaligus akomodasi suara perempuan, sebagaimana nampak dalam analisis tentang hal yang sama di kota Semarang dan Tangerang (Rostanty dan Rohmah, 2006). Dan bilamana demikian, maka di sekitar kita, ruang perumusan dan penentuan kebijakan anggaran menjadi wilayah yang tak terjangkau oleh tangan-tangan perempuan, apalagi tangan perempuan miskin.

Membaca Anggaran

Setiap menjelang penetapan anggaran daerah, bisa dipastikan dokumen-dokumen rancangan APBD menjadi menu wajib bacaan para aktivis advokasi anggaran. Dokumen-dokumen fotokopian yang sangat teknis, lay-out yang seadanya, huruf yang kecil-kecil, hingga ketebalannya yang lebih mirip bantal daripada buku, memang terkadang membuat mata dan batin penat bahkan sebelum membuka dan membacanya. Tetapi, dari dokumen-dokumen ini pulalah, para aktivis advokasi anggaran menelusur sejauh mana keberpihakan anggaran negara bagi rakyat. Cara dan metode memang bisa beragam, dan kekayaan metode ini adalah wajah yang menarik dari potret advokasi anggaran yang ada.

Dalam riset ini, salah satu pandangan yang mendasari adalah kepercayaan bahwa analisis teknokratis bisa dipadukan dengan analisis partisipatif dari masyarakat. Analisis teknokratis –yang dilakukan dengan membuka dokumen anggaran dan menganalisisnya, serta wawancara dengan para pejabat pembuat kebijakan anggaran- memberi banyak temuan. Tetapi, proses mengkonfirmasi kinerja anggaran dalam kacamata masyarakat yang merupakan rights-holders anggaran, juga dilakukan dan menjadi bagian penting dari analisis ini.

Kepercayaan yang mendasari metode kedua, adalah berangkat dari pandangan sebagaimana diurai di atas, bahwa anggaran adalah politik keseharian kaum perempuan. Mungkin bisa dikatakan sangatlah sedikit perempuan di level terbawah yang pernah mengkaji dokumen anggaran. Tetapi, bilamana mereka diajak untuk melihat bekerjanya anggaran dalam kehidupan keseharian mereka, bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan. Mereka akan dengan fasih menceritakan, adakah dan berapa jumlahnya alokasi anggaran untuk posyandu yang mereka terima, sebagaimana mereka juga ingat berapa harus berkontribusi ke anggaran daerah bila berobat ke puskesmas atau berjualan di pasar. Proses inilah yang sebetulnya menjadi dasar upaya melakukan demistifikasi anggaran. Dari sini pulalah, kajian terhadap kebijakan pungutan anggaran dilakukan sebagaimana kajian yang sama juga dilakukan terhadap kebijakan belanja anggaran daerah.

Konstruk Gender dalam Kebijakan Pungutan Negara

Salah satu sumber utama pendapatan negara dan daerah adalah dari sektor pajak. Di tingkat pusat, beberapa pajak seperti Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah adalah beberapa contoh pajak yang menduduki peringkat utama penyumbang anggaran negara. Adakah dimensi gender dalam kebijakan perpajakan yang mempengaruhi konstruksi gender di masyarakat?

Salah satu isu krusial adalah menyangkut konsepsi yang melatarbelakangi kebijakan dan tarif pajak, terutama dalam kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) khususnya PPh Pasal 21. Dalam formula penghitungan pajak ini, dikenal istilah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang dikurangkan dari total penghasilan sehingga menghasilkan angka Penghasilan Kena Pajak. Tetapi menariknya, PTKP akan berbeda antara hitungan untuk wajib pajak laki-laki dengan wajib pajak perempuan. Bilamana laki-laki, di dalam PTKP ini termasuk alokasi atau tunjangan untuk anak dan juga istri, sebagai wujud dari konsepsi laki-laki sebagai breadwinners, sementara kondisi yang sama tidak didapatkan pada kalkulasi pajak bagi perempuan. Alhasil, penghasilan kena pajak perempuan menjadi relatif lebih tinggi, dan akibatnya sumbangsih perempuan melalui PPh kepada negara juga menjadi lebih besar. Konstruksi gender bahwa laki-laki adalah pencari nafkah utama sementara perempuan adalah pencari nafkah tambahan membuat perempuan justru harus menyisihkan lebih banyak uang kepada negara melalui pajak ini.

Bagaimana di tingkat daerah? Desentralisasi pengelolaan pemerintahan yang membuat daerah berlomba-lomba menaikkan sumber-sumber pendapatan daerah ternyata berujung pada kondisi yang memberatkan bagi kelompok rentan termasuk perempuan. Apa contohnya? Salah satu pos utama dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD) di banyak daerah adalah retribusi kesehatan. Di banyak daerah, retribusi kesehatan selama bertahun-tahun menjadi penyumbang PAD terbanyak, seperti Rp 10.3 Miliar di Bantul DIY pada tahun 2004, Rp 15.71 Miliar di Subang Jawa Barat pada tahun yang sama, serta Rp 5.73 Miliar di Gunungkidul DIY pada tahun 2003 (Fatimah, 2004).

Bila dikaji, pos ini sangatlah berwajah perempuan, karena perempuan memiliki lebih banyak urusan dan sekaligus lebih banyak berkontribusi untuk pungutan ini. Kesehatan reproduksi membuat perempuan lebih banyak mengakses layanan kesehatan umum dan membayar pungutan ini, mulai dari periksa kehamilan, melahirkan, pemasangan dan pencopotan kontrasepsi, hingga pengobatan penyakit yang terkait dengan organ reproduksi perempuan. Peran sosial seperti pengasuhan anak dan orang tua juga membuat perempuan harus berurusan dengan layanan kesehatan ketika anak sakit ataupun menjaga orang tua yang dirawat di rumah sakit. Sayangnya, kebijakan beberapa daerah yang menaikkan tarif retribusi kesehatan memperberat beban perempuan dan berpotensi menjauhkan akses perempuan terhadap layanan kesehatan dasar.

Kebijakan Alokasi Anggaran : Pengabaian Yang Terus Berlanjut

Setidaknya, ada 3 kategori dalam analisis belanja untuk melihat bekerja tidaknya perspektif gender. Ketiga kategori tersebut adalah spesifically identified gender-based expenditure, atau alokasi anggaran spesifik gender. Kategori kedua adalah anggaran sebagai bagian dari affirmatie action atau yang disebut Budlender sebagai equal employment opportunity expenditure. Sedangkan yang ketiga adalah mainstream budget expenditure, yang melihat bekerjanya integrasi perspektif gender di semua sektor, atau di program yang diluar kedua kategori sebelumnya (Budlender, 1996).

Yang pertama, adalah alokasi anggaran yang secara spesifik menyasar perempuan ternyata sangat rendah. Alokasi anggaran spesifik gender yang menjadi salah satu jenis pengeluaran anggaran yang responsif gender, juga sangat minim. Di banyak daerah, alokasi untuk pemberdayaan perempuan hanya mendapatkan porsi minim, seperti Rp 40.6 juta di Jogjakarta pada tahun 2004 atau Rp 10 juta di Bantul pada tahun 2005. Padahal agenda pemberdayaan perempuan memerlukan dukungan anggaran yang besar. Isu spesifik gender seperti penanganan kekerasan terhadap perempuan juga tidak menjadi prioritas dalam anggaran, sehingga hanya ada Rp 5 juta untuk pendampingan kekerasan terhadap perempuan di Bantul pada tahun 2005 untuk menyebut sebagai contoh (Fatimah, 2006).

Temuan riset di beberapa daerah penelitian ini juga menunjukkan kondisi yang serupa, dimana rendahnya alokasi anggaran untuk kepentingan spesifik perempuan dijumpai hampir di semua tempat, tentu saja dengan derajat yang tidak sepenuhnya sama. Di Surakarta, alokasi anggaran untuk program perlindungan perempuan dan anak –yang merupakan program yang didesakkan oleh masyarakat sipil- ternyata masih jauh dari memadai. Sementara pada saat yang bersamaan, alokasi anggaran untuk club sepak bola daerah mencapai sekitar Rp 6 Miliar, yang dengan beberapa proyek fisik mercusuar lainnya, menjadi ironi dari kebijakan anggaran daerah. Walaupun alokasi anggaran mercusuar tidak ditemukan di Wonosobo misalnya, tetapi keluhan tentang rendahnya alokasi anggaran untuk kepentingan spesifik perempuan juga minim, yang antara lain dilontarkan oleh mahalnya alat kontrasepsi. Di sini, juga terbaca rendahnya perhatian negara pada aktivitas yang disebut Budlender sebagai care economy atau unpaid works, yang dicontohkan dalam rendahnya alokasi anggaran untuk aktiitas pengasuhan anak dan kesehatan perempuan. Aktivitas ini dipandang ‘tidak produktif’ dan karenanya tidak menjadi prioritas.

Lantas, bagaimana anggaran mendorong kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk menduduki jabatan publik? Affirmative action expenditure yang akan sangat berkontribusi untuk mendorong kesetaraan dan keadilan gender juga sangat minim. Sedikitnya perempuan yang menduduki jabatan kunci di birokrasi, juga masih sangat sedikitnya perempuan di lembaga perwakilan rakyat adalah dua contoh PR besar yang menanti. Dukungan anggaran untuk pembaharuan sistem kepegawaian dan juga peningkatan kapasitas perempuan sangatlah diperlukan, selain pembaharuan regulasi tentang keterwakilan perempuan di jabatan publik. Dan sayangnya, kondisi ini juga tidak ditemukan dalam praktek di mayoritas daerah penelitian. Gunungkidul yang wakil bupatinya perempuan, ternyata tidak berkorelasi dengan semakin meningkatnya perempuan yang menduduki jabatan publik yang kunci.

Dan terakhir, keluhan mahalnya pendidikan, yang muncul di hampir semua daerah adalah wajah mainstream expenditure yang tidak supportif bagi pemenuhan hak dasar perempuan. Keluhan yang juga tertangkap dalam riset ini, adalah juga keluhan terhadap ketersediaan air bersih di Gunungkidul, yang perempuan dengan fasih menjelaskan karena ini adalah wilayah kendali perempuan. Minimnya alokasi anggaran yang masuk di desa-desa penelitian yang menjadikan kemiskinan sebagai unfinished agenda, juga menjadikan dampak pemiskinan pada perempuan terus berlanjut.

Walaupun pada sisi pendapatan, kontribusi perempuan sangatlah mempengaruhi anggaran, namun kondisi yang ditemui pada sisi belanja anggaran ternyata tidaklah setimpal. Keluhan terhadap rendahnya akomodasi hak dasar perempuan dalam anggaran kita jumpai baik pada anggaran pusat maupun ditingkat daerah. Keluhan terhadap mahalnya pendidikan, dan ketidakterjangkauan layanan kesehatan bagi orang miskin terjadi dari tahun ketahun tanpa ada respon berarti dari kebijakan anggaran negara. Apalagi dimensi gender dari isu ini, seperti bagaimana anggaran menyelesaikan persoalan ketimpangan antara anak laki-laki dan perempuan dalam akses pendidikan, semakin terabaikan. Untuk kesehatan, angka kematian ibu yang masih menduduki yang tertinggi di ASEAN yang antara lain nampak dari data dua ibu melahirkan meninggal setiap jam di Indonesia, juga menjadi hal yang dianggap lazim dan terabaikan oleh anggaran. Pun jutaan balita dan ibu hamil yang terpaksa mengalami kekurangan gizi, adalah potret rendahnya akomodasi hak dasar dalam anggaran negara, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Catatan:*Dati Fatimah adalah direktur Perhimpunan Aksara Yogyakarta. Tulisan ini dibuat sebagai kontribusi untuk laporan penelitian “Partisipasi Perempuan dalam Musrenbang dan Dampaknya bagi Kebijakan APBD”, Commitment-Ford Foundation, September 2007.

DAFTAR PUSTAKA :

Budlender, D. (ed) (1996), “The Women’s Budget”, IDASA, Cape Town, South Africa
Fatimah, D (2004), “Yang Terlupakan : Menyoal Perempuan dan Anggaran”, IDEA Press, Jogjakarta
Fatimah, D (2006), “Mengapa Perlu Anggaran Yang Responsive Gender?”, dalam Jurnal Perempuan No. 46, YJP, Jakarta
Rostanty, M & Rohmah, SD (2006), “Perempuan dan Anggaran Daerah”, dalam Jurnal Perempuan No. 46, YJP, Jakarta
Savirani, A (2006), “Anggaran Partisipatif dan Demokrasi Deliberatif”, dalam Basjir (ed)(2006), “Keindahan Yang Menipu”, IDEA Press
Lang, et.al (2000), Budget ad if People Mattered : Democratizing Macroeconomic Policy, SEPED Conference Paper Series, UNDP/SEPED, seperti diakses dalam ttp://www.bridge.ids.ac.uk/gender_budgets_cd/Budgets%20CD%20subsection%204.1/4.1b%20budgets%20as%20if%20people%20mattered.pdf

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *